Sholat Dhuha Dan Keutamaan

Advertisement
Advertisement
Keutamaan Dan Keistimewaan Sholat Dhuha - Sholat dhuha adalah salah satu pintu jalan kita menuju tuk mendapatkan Ridho Allah, dari sekian banyak jalan, Sholat dhuha ini adalah jalan yang begitu berat untuk di lalui, entah karena tanggung waktu kerja atau apalah itu mumkin karna kelalaian kita, yang pastinya sangat jarang orang yang mengerjakan Sholat dhuha ini, itu sebabnya saya disni akan memaparkan sedikt tentang keterangan Keutamaan Dan Keistimewaan Sholat Dhuha agar supaya para pembaca sekalian tergugah akan pentingnya da istimewanya Sholat dhuha.




Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:


يصبح على كل سلامي من أحدكم صدقة. فكل تسبيحة صدقة. وكل تحميدة صدقة. وكل تهليلة صدقة. وكل تكبيرة صدقة. وأمر بالمعروف صدقة. ونهي عن المنكر صدقة. ويجزئ، من ذلك، ركعتان يركعهما من الضحى
artinya; “Hendaknya di antara kalian bersedekah untuk setiap ruas tulang badannya. Maka setiap bacaa tasbih adalah sedekah, setiap bacaan tahmid adalah sedekah, setiap bacaan tahlil adalah sedekah, setiap bacaan takbir adalah sedekah, beramar ma’ruf adalah sedekah, dan mencegah kemungkaran adalah sedekah. Dan itu semua sudah tercukupi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim No. 720, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, No. 4677, 19995, Ibnu Khuzaimah No. 1225)

في الإنسان ستون وثلاث مائة مفصل عليه أن يتصدق عن كل مفصل منه بصدقة قالوا ومن يطيق ذلك يا رسول الله قال النخاعة تراها في المسجد فتدفنها أو الشيء تنحيه عن الطريق فإن لم تجد فركعتا الضحى

Artinya; Dalam tubuh manusia terdapat 360 tulang. Ia diharuskan bersedekah untk tiap ruas tulang itu.” Para sahabat bertanya: “Siapa yang mampu melakukan itu ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Dahal yang ada di masjid lalu ditutupnya dengan tanah, atau menyingkirkan gangguan dari jalan, atau sekali pun tidak mampu maka shalatlah dua rakaat pada waktu dhuha .” (HR. Ibnu Hibban No. 1642, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ash Shahih At Targhib wat Tarhib No. 2971. Juga diriwayatkan oleh Abu daud dan Ahmad)

Imam Asy Syaukani menjelaskan tentang dua hadits ini:
والحديثان يدلان على عظم فضل الضحى وأكبر موقعها وتأكد مشروعيتها وأن ركعتيها تجزيان عن ثلاثمائة وستين صدقة وما كان كذلك فهو حقيق بالمواظبة والمداومة .
Artinya; “Dua hadits ini menunjukkan keutamaan shalat dhuha yang begitu besar, betapa agung kedudukannya, dan betapa keras pensyariatannya. Dua rakaat dhuha dapat menyamai 360 kali sedekah, oleh karena itu hendaknya dilakukan secara terus menerus.” (Nailul Authar, 3/64. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
أَوْصَانِي خَلِيلِي بِثَلَاثٍ لَا أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَصَلَاةِ الضُّحَى وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ

Artinya; “Kekasihku telah mewasiatkan aku tiga hal agar aku jangan tinggalkan sampai mati. 1. Puasa tiga hari setiap bulan. 2. Shalat dhuha.3. Shalat witir sebelum tidur.” (HR. Bukhari No. 1124, 1880, Muslim No. 721, Abu Daud No. 1432, Ad Darimi No. 1454, 1745)
Hadits ini dengan jelas menyebutkan shalat dhuha sebagai sunah yang mesti dijaga dan jangan sampai ditinggalkan hingga wafat. Dan, kesunahannya disetarakan dengan shalat witir dan puasa ayyamul bidh. Imam Bukhari memasukkan hadits ini dalam Shahihnya, pada Kitab Abwab Ath Tathawwu’ (Bab Macam-Macam Shalat Tathawwu’/sunah), pada Bab Shalatudh Dhuha fil Hadhar (Shalat Dhuha Ketika Mukim).
Penjudulan dari Imam Bukhari ini sekaligus bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya sekali melaksanakan shalat dhuha yakni ketika pulang dari safar (perjalanan jauh), yang dengan ini mereka berpendapat tidak ada shalat dhuha kecuali karena adanya sebab, di antaranya safar.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan dalil sunahnya shalat dhuha, lalu beliau menambahkan:

وعدم مواظبة النبي صلى الله عليه وسلم على فعلها لا ينافي استحبابها لأنه حاصل بدلالة القول، وليس من شرط الحكم أن تتضافر عليه أدلة القول والفعل، لكن ما واظب النبي صلى الله عليه وسلم على فعله مرجح على ما لم يواظب عليه

Artinya; “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak merutinkan shalat dhuha, tapi tidak berarti menghilangkan kesunahan shalat dhuha tersebut, sebab kesimpulan sudah bisa diambil dari ucapannya ini. Dan, hukum tidaklah disyaratkan mesti terjadinya jalinan antara ucapan dan perbuatan, tetapi memang perbuatan yang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam rutinkan, dia lebih kuat anjurannya dari yang tidak Beliau rutinkan.” (Fathul Bari, 3/57. Darul fikr)

Advertisement